Adhya Tirta Batam Official Website

Melihat Wajah Waduk Duriangkang Dari Dekat 1

Artikel ini diambil dari www.atbbatam.com
Dipublikasikan Pada : 02-JUL-2019 08:57:50,   Dibaca : 1911 kali
Aktifitas ilegal di waduk dan area tangkapan air menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas dibereskan. Aktifitas ilegal yang semakin marak justru mengancam kawasan lindung, dan tentu saja berdampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas cadangan air baku.

Kesan pertama saat masuk ke dalam hutan lindung Duriangkang adalah, kawasan ini lebih cocok disebut sebagai perkebunan rakyat ketimbang hutan lindung. Pepohonan tak lagi berdiri rapat menghalangi sinar matahari, lebih banyak hamparan luas berisi tanaman holtikultura.

Yang jamak terlihat adalah daun Singkong, Jagung, Serai, Pepaya, Nangka dan tanaman-tanaman sejenis menjadi variasi-variasi yang bisa ditangkap mata saat menyusuri hutan. Masing-masing kebun tampaknya dirawat dengan baik. Tampak dari sepinya ilalang disekitar tanaman-tanaman tersebut.

Masuk lebih jauh, kita bisa menemukan barisan-barisan pohon menghitam seperti terbakar. Di bawahnya rumput-rumput pendek bernasib sama. Barisan pohon ini tampaknya sengaja dibakar untuk membuka lahan perkebunan baru.

Diseberangnya ada barisan pohon gosong yang telah ditebang. Lahan di belakannya telah gembur dicangkul, dan dipenuhi batang-batang singkong yang distek. Beberapa telah tumbuh daun muda. Beberapa bulan kedepan sudah bisa dipanen dan dijual.

Kondisi waduk juga cukup memprihatinkan. Kerambah ikan tampak berjejer rapih diselingi tanaman Eceng Gondok yang memenuhi hampir seluruh tepian waduk. Kerambah itu biasanya diisi Mujahir Ikan Gabus, atau ikan air tawar lain yang bisa dijual.

Jika meneruskan perjalanan hingga 25 meter lagi, segorombolan pria tampak memancing menggunakan pancingan sederhana dari bambu. Mereka menggunakan umpan dari lumut untuk memikat Mujahir.

Sampah-sampah plastik kemasan tampak berserakan di tepian waduk hingga ke dalam waduk. Terlihat jelas sampah itu adalah bekas makanan dan minuman kemasan yang dibawa pemancing saat memancing disana. Demikian juga gerombolan pria tersebut, mereka membawa botol air mineral besar, dan meninggalkannya begitu saja setelah selesai memancing.

Demikianlah kondisi waduk Duriangkang saat ini. Fungsi ekologisnya tak lagi mendapat perhatian. Fungsi ekonomis, yaitu sebagai sumber mata pencaharian hidup seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis ???termasuk iklim global.

Padahal disadari atau tidak, pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (eksploitasi hutan) tanpa mempedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka. Dampak yang ditimbulkan membutuhkan biaya ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh.

Batam pernah punya pengalaman buruk akibat lalai menanggulangi praktek perambahan dan eksploitasi hutan lindung di area tangkapan air. Waduk Baloi, yang merupakan waduk pertama di Batam terpaksa berhenti beroperasi karena dipenuhi penduduk.

Hutan lindung Baloi dirambah oleh penduduk, kemudian dijadikan pemukiman liar. Kini areal tersebut dikenal dengan nama Baloi Kolam. Berkurangnya jumlah hutan secara signifikan mengakibatkan sedimentasi waduk semakin parah.

Sementara limbah organik warga memperburuk kualitas air yang ada di waduk, hingga bakteri e-coli yang terkandung dalam air melampaui ambang batas. Akibatnya, air yang diolah tak lagi layak konsumsi. Kalaupun harus diolah, biaya yang dikeluarkan hingga air layak konsumsi akan sangat tinggi.

"Kita bisa sebut Dam Baloi saat ini telah menjadi septic tank umum hingga terpaksa ditutup. Kita harus belajar dari kejadian Dam Baloi, sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi di Dam yang lain," ujar Presiden Direktur ATB, Benny Andrianto. (Corporate Secretary)